Seorang gadis berpakaian khas minimarket, nampak sedang melayani pembelinya. Ia menscan barang-barang yang diajukan para pembeli, menyebutkan harganya, dan memberikan kantong belanjaan yang sudah terisi serta ucapan terima kasih kepada mereka. Tak lupa ia menunjukkan segaris senyuman ramah pada pembeli yang masuk dan keluar dari minimarket.
"Ara. Jam-mu sudah selesai. Sekarang kau boleh pulang dan beristirahat di rumah. Kau terlihat kelelahan." Gadis bernama lengkap Zahra Priscilla itu menolehkan kepalanya ke arah lelaki yang berpakaian serupa dengannya.
"Ah, ya. Aku ingin ke belakang dahulu," ucap Ara sembari tersenyum, lalu pamit dari sana.
Ara mengganti seragam kerjanya menjadi kemeja putih dan celana jeans biru. Ia juga membetulkan kuncir kudanya yang agak berantakan. Beberapa menit kemudian, Ara kembali ke depan meja kasir dengan napas terengah.
"Hei. Hosh, hosh. Aku duluan, ya? Hosh. Tolong sampaikan kepada Pak Indra bahwa aku sudah pulang." Telapak tangan kanan Ara menggapai permukaan meja kasir, sedangkan tangan kirinya sibuk memegangi lutut dengan badan yang dibungkukkan. Ia berpesan pada teman lelaki yang menyuruhnya pulang tadi. Kini lelaki tersebut tengah menggantikan posisi kerja Ara.
"Baiklah, tapi…Ara! Tunggu!" Lelaki itu buru-buru meraih jaket denim hitamnya yang terletak di atas lemari sebelah kirinya. Ia menyusul Ara yang berada belum jauh dari minimarket. Menyamakan langkah kaki Ara, lelaki itu lantas menepuk pundak gadis yang sedang melakukan kegiatan berulang. Memandangi jam tangannya, lalu kembali menatap ke depan—sembari berlari, dan dengan pandangan gelisah.
Ara pun memberhentikan langkahnya, menyampingkan tubuhnya—menghadap lelaki pembawa jaket tersebut.
"Pakai ini." Ara menatap jaket yang diulurkan kepadanya itu dengan bingung.
"Ini sudah malam, dan kau hanya mengenakan kemeja," ujar si lelaki pemilik jaket menjelaskan.
"Eh? Tak perlu repot-repot. Aku baik-baik saja dengan ini," tolak Ara secara halus. "Lagipula, aku sudah terlambat," sambungnya sembari mengecek jam tangannya kembali. "Jadi, aku harus cepat ke sana." Ara ingin berlari, namun kakinya tertahan. Sebuah jaket tersampir menutupi punggungnya.
"Kubilang pakai. Kau ini keras kepala sekali."
"Terima kasih, Thea," ucap Ara sambil tersenyum kikuk. Ia pun memasangkan jaket yang ada pada tubuhnya dengan benar. "Kau kembali ke dalam sana. Hati-hati disemprot oleh Pak Indra, ya," kata Ara mengerjai lelaki yang dipanggil 'Thea' itu.
"Aish. Bisa-bisanya aku melupakan itu. Ya sudah, aku ke dalam, ya? Kau lebih baik langsung pulang ke rumah. Kasihan, tubuhmu." Ara hanya mengangguk pelan dan menatap kepergian lelaki tersebut. Kemudian ia tetap bergegas pergi.
***
"Zahra. Kenapa kau terlambat?" tanya seorang pria yang berdiri di hadapan Ara.
"Maaf, Pak. Tadi aku...Tadi aku ketiduran di rumah!" seru Ara berbohong. Ia tak mungkin memberitahu alasan sebenarnya. Dan sebuah keberuntungan bagi Ara, karena pria tersebut langsung percaya dengan bualannya.
Ara menaiki sebuah kontainer berwarna kuning. Ia lalu mengendarai kendaraan yang telah diisi oleh berbagai barang itu. Ya, ia sekarang sedang menjalani pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh lelaki. Pengangkut barang-barang menggunakan kontainer. Kurang lebih seperti itu.
Ia dikenali pekerjaan ini saat membantu seorang pengangkut barang yang dilanda kantuk berat. Bahkan kontainernya sempat menabrak pembatas jalan dan mengakibatkan kap depan kendaraan besar tersebut penyok. Ia pun langsung mengambil alih kontainer itu dan memesan taksi melalui ponsel—guna mengantar sopir pengangkut barang—agar kembali ke rumahnya. Sebelumnya, Ara menanyakan alamat rumah dan tempat tujuan sang sopir terlebih dahulu, dengan cara mendesaknya. Barulah ia melajukan kontainer tersebut.
Ara mengendarai kontainer karena memang berpengalaman. Ayahnya yang merupakan pengangkut barang-barang dari pelabuhan, mengajarkan hal itu sejak Ara remaja.
***
Udara malam yang berhembus masuk melalui jendela kontainer yang dibuka lebar, membuat hati Ara tentram. Ia merapatkan jaket yang terpasang pada tubuhnya.
Ternyata jaket ini berguna juga, batin Ara. Lalu bibirnya membentuk senyum simpul.
Malam memang memiliki karakteristiknya sendiri. Nyaman, bebas, dan bahagia. Apalagi jika dinikmati sendirian. Itulah yang menyebabkan Ara langsung menerima pekerjaan ini saat ditawari shift malam sehari setelah peristiwa pengangkutan barang seseorang terjadi. Juga untuk menambah penghasilannya.
***
"Zahra!" panggil gadis berbalut kaos polos putih dan rok pendek berwarna peach sembari mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Ara mengedarkan pandangannya, lalu menghampiri gadis yang tadi memanggilnya. Kemudian ia hanya tersenyum sembari memegang tali sling bagnya.
"Hai, Zahra! Kenapa tubuh kau menjadi kurus kerempeng begini?!" tanya gadis dengan surai yang tergerai itu setelah mengamati tubuh Ara dari atas hingga bawah sejenak. Ia langsung menghambur dan memeriksanya bagai memeriksa barang.
"Aku tidak apa, Er," ucap Ara sembari memejamkan matanya.
"Tidak apa, apanya! Itu suaramu juga serak! Kau ini melakukan apa saja, sih? Kau pasti kurang istirahat. Ayo, ikut aku!" Tak memberi kesempatan untuk Ara menjawab, gadis itu langsung menarik tangan Ara menuju kantin kampus. Tepat! Mereka sedang berada di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Ara diterima di kampus tersebut tentu bukan jalur bayar sendiri. Ia menggunakan sistem beasiswa. Kendati demikian, Ara harus tetap bekerja paruh waktu guna membiayai hidupnya.
***
"Kenapa berhenti? Habiskan makanan...," ujar gadis yang tengah makan bersama Ara—ketika ia melihat temannya itu mendadak diam—sambil masih memegang sendok dan garpu. Tapi kalimatnya terpotong oleh ucapan Ara. "Erika! A-aku ingin ke toilet dahulu, ya?" Dada Ara terlihat membesar dan mengecil. Napasnya juga tersengal-sengal. Ia beranjak dari kursi dan meraba tiap meja kantin di sampingnya.
"Biar kutemani," ucap gadis bernama Erika tadi—sembari merangkul pundak Ara; hendak memapahnya.
"Tak perlu, Er." Ara melepaskan rangkulan Erika, lalu segera berjalan dengan tertatih-tatih.
Erika memandang punggung ringkih Ara cemas.
***
Ara tengah berdiri di depan cermin wastafel toilet. Ia terbatuk tanpa henti. Ara merogoh saku jeans hitamnya. Mengambil sebuah botol pil, lalu mengeluarkan isinya dengan cepat. Saat akan memasukkan pil tersebut ke dalam mulutnya, Ara terbatuk lagi. Batuk kali ini seribu kali lebih menyakitkan dari yang sebelum-sebelumnya. Ia melihat telapak tangan yang digunakannya untuk menutup mulut sewaktu batuk. Di sana terdapat dua tetes cairan kental berwarna merah.
Kepala Ara seakan berputar hebat. Matanya mulai berkunang-kunang. Ia menumpu kedua tangannya pada tepian wastafel. Sesaat, tubuh Ara limbung. Ia duduk meringkuk di atas lantai. Beruntungnya, toilet memang sedang sepi, bahkan tak ada orang selain dirinya. Dan Ara menyesal telah menolak bantuan Erika tadi.
[]
maaf kalo gj dan ga masuk akal :)
btw ini ada pt2-nya yaa.
Huwaaaaaa!!! Akhirnya up lagiii ππ. Baguuuusss ceritanyaa ππ. Kata"nya juga baguus kereeeenn π❤
ReplyDeleteGak gaje kok, bagus malahπ
Next part 2!! Aku tungguuu.
Ara, are you okay?? Ara nyembunyiin sesuatu ya?
Eh ini sadstory??! Huaaaaa!! Sukaaa! Yeayy ada sadstory~ πππ Eh tapi jangan sad ending yaa hehe. Happy ending aja, ok?
/maksa/ :v
Gak kok, bercanda ππ. Endingnya terserah kamu aja, aku kan hanya pembaca, gak punya hak buat nentuin endingnya :)
Apa sih ngomong apa aku? π. Dah lah abaikan :))
Penulisan katanya juga dah meningkat dari yang sebelumnya. Bagus bagus. Pertahankan, ya! ππ
Fighting! π❤
aaaaaa, aduuhπ aku ga bs ngomong apa" lgi. intinya makasi bgt, thankyou, gomawo, dst.
Deleteeum,, soal ending......