Epoch Alternative Ending

ini potongan Epoch versi yg sblmnya ya. biar kalian paham alur :)

Kamar mayat. 


Erika membungkam mulut—kala membaca tulisan pada pintu di hadapannya. 


Richard pun menarik kenop pintu tersebut. Saat pintu terbuka, Erika melihat—ada beberapa bangsal yang kosong dan satu bangsal yang ditempati tubuh manusia. Namun, tubuh itu tertutupi kain putih. 


Richard, juga Erika masuk ke dalam sana. Bau kapur barus langsung menyeruak menusuk hidung mereka. 


"Lihatlah." Erika sontak menatap Richard saat mendengar seruan itu. Ia mengerutkan keningnya tanda tidak setuju. Erika tak sanggup, jika seandainya mayat yang terbaring di bangsal tersebut benar-benar Ara. 


Sepersekon kemudian, Erika kembali menatap mayat di depannya. Ia menyentuh ujung kain penutup itu setelah mengumpulkan segenap keberanian. Merapalkan doa dalam hati, lantas menyibaknya hingga bahu sang mayat. 


Erika menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tenggorokannya tercekat. Pasokan oksigen juga mendadak lenyap di dalam ruangan tersebut. 


"Za-zahra?" Erika memandang wajah pucat pasi mayat yang amat tenang itu. Netranya memanas. Erika segera menoleh ke arah Richard. 


Satu bulir air jatuh dari pelupuk matanya. 


"Kenapa kau tak memberitahuku dahulu?! Kenapa kau tak memberitahuku saat Zahra sedang sekarat?! Kenapa aku baru tahu saat ia sudah menutup mata?! Setidaknya, aku ingin melihat senyum perpisahannya!" Erika meluapkan emosinya. Ia pun mendekap tubuh Ara. Tak peduli jika tubuh tersebut sudah menjadi mayat. 


Dingin. 


Erika semakin mengeratkan dekapannya. Tangisnya pecah, dan memenuhi seisi kamar mayat. 


***


Derap langkah kaki terdengar menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Erika berlari di sana sambil terus menyeka air matanya. 


"Hei! Tunggu!" seru Erika saat seorang pria dengan setelan baju operasi—hendak memasuki sebuah ruangan yang tak lain dan tak bukan adalah ruang operasi. 


"Tu-tunggu. Bolehkah aku melihat Zahra sebentar? Ha-hanya lima menit. Aku janji." Erika mengatur mimik wajahnya agar terlihat yakin dan sungguh-sungguh. Pria yang ia ajak berkompromi—hanya mengangguk setuju. Pria itu meminta Erika untuk mengganti penampilannya dahulu. 


Erika sempat terhenyak kala pria yang tidak tahu berstatus sebagai apa di rumah sakit ini—melepas tali masker sebelah kanannya. Pasalnya, paras pria bertubuh tegap itu sangat amat mirip dengan paras dokter yang berada di mimpinya. 


Tetapi Erika belum begitu memedulikan hal tersebut dan segera pergi dari sana. 


***


Erika telah berganti kostum menjadi serba hijau dan tengah berdiri di samping meja operasi. Netranya mengarah kepada Ara yang sedang memejamkan mata. 


"Zahra." Erika memenggal ucapannya, kemudian melanjutkan dengan lirih, "Aku di sini." 


Suasana di kamar bedah sangat senyap karena pria yang mempersilakan Erika masuk—memberi ruang untuknya dan Ara. 


Di tengah keheningan tersebut, kelopak mata Ara tampak bergerak. Tak lama, sepasang netra jernih itu terlihat sepenuhnya. 


Ara hanya memejamkan mata, tidak benar-benar tertidur. 


Ia membuka mata ketika mendengar suara yang familiar di telinganya. 


Erika menyadari bahwa Ara sudah bangun, namun ia hanya tertegun sejenak dan semakin mengembangkan senyuman yang sedari tadi telah terbit di bibirnya. 


"Hai. Terima kasih atas kunjungannya." Ara sedikit terkikik. 


"Tentu saja. Aku menepati janjiku, bukan?" tanya Erika diakhiri dengan nada sombong. 


"Iya." Ara terkekeh pelan. 


Erika tersenyum melihat kawannya melemparkan kotak tawa saat akan menghadapi sesuatu yang terbilang mengerikan. 


"Aku selalu berdoa yang terbaik untukmu. Kau tidak perlu merasa takut atau khawatir," ucap Erika. Auranya berubah serius. 


Melalui air muka Ara, terlihat bahwa ia bahagia memiliki teman sepengertian Erika. Ia pun menanggapi perkataan Erika tadi dengan senyuman manis. 


Pria yang masih belum diketahui identitasnya oleh Erika—berjalan memasuki ruang operasi—disusul dengan tim medis. "Mohon maaf. Pasien harus segera dioperasi. Anda boleh menunggu di luar." Ucapan yang ditujukan kepada gadis pengunjung tersebut—berhasil menginterupsi Erika dan Ara. Mereka mengindahkan pandanganya pada pria yang sudah memakai perlengkapan operasi. 


"Baik. Permisi," pamit Erika sopan. Ia berniat meninggalkan ruangan tersebut, akan tetapi langkahnya tertahan—saat berada di hadapan pintu ruang operasi—oleh deheman, dan disusul dengan sederet kata. 


"Berhubung hanya Anda yang berperan sebagai wali pasien, saya ingin meminta persetujuan terlebih dahulu."  


Erika berbalik. Ia melihat pria itu tengah berjalan ke arahnya.


"Persetujuan?" ulang Erika ragu. 


"Apakah paru-paru kiri pasien boleh diangkat? Sel kankernya sudah memenuhi satu paru-paru tersebut." 


Hati Erika mencelos. Ia bingung. Tetapi ia meyakinkan dirinya bahwa Ara akan baik-baik saja dan pengangkatan paru itu adalah pilihan yang tepat. 


Erika pun mengangguk karena tak kuasa bila mengiyakan langsung. Ia keluar dari ruangan tersebut dan mengamati Ara dari jendela ruang operasi sekilas. 


***


Malam sudah larut. Namun Erika masih setia menempati kursi tunggu rumah sakit. Hawa dingin—percampuran antara air conditioner dengan udara malam—tak berhenti menyelimuti tubuhnya yang hanya dilapisi dress selutut. 


Tiba-tiba, seorang pria berdiri di depan Erika. Pria itu ialah pria yang berbicara dengannya beberapa jam lalu dan ikut menangani operasi Ara. Ia kini mengenakan jas khas dokter. Erika jadi menebak-nebak, bahwa pria tersebut merupakan seorang dokter bedah. 


"Pasien telah dipindahkan ke ruang pemulihan. Anda ingin menemuinya?"


Erika tampak tak fokus. Ia melirik benda berbahan akrilik yang tertempel pada dada sang pria. Benda itu berisi sebuah tulisan yang membuat Erika teringat akan sekelebat kejadian di alam bawah sadarnya. 




"Saya minta maaf. Pasien tidak bisa diselamatkan. Sel kankernya sudah menyebar ke otak sejak satu tahun terakhir. Pasien bahkan belum menjalankan pengobatan apa pun saat di rumah sakit. Mungkin memang ini jalan hidupnya," ucap dokter yang bertanggung jawab atas operasi Ara. Pandangan Erika seketika berubah. Ia menganga. Netranya jelas menunjukkan sebuah bentuk protes. Erika pun mendekati dokter dengan name tag 'Richard' itu. Tatapannya berangsur menyalang. 


"Kau ini dokter atau pelawak...."




"Hei." Erika terlonjak. Lamunannya buyar. Ia kembali pada realita. 


"Ya?" balas Erika kikuk. 


"Perkenalkan. Saya Richard. Dokter dari pasien yang Anda jumpai." Pria yang memiliki nama—persis dengan nama dokter di mimpi Erika itu agaknya seseorang yang tanggap. 


Erika tersenyum canggung. Ia lalu bangkit dari kursi dan bertanya, "Apakah operasinya telah usai? Kenapa...kau di sini?" 


"Biar saya beritahu." Richard melengos begitu saja. Erika pun berusaha mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin mengajukan pertanyaan lebih banyak. 


Richard memberi arahan kepada Erika. Tujuannya adalah tempat Ara berada. 


***


Erika sedang tertawa lepas bersama Ara. Ini hari ketiga Ara tinggal di ruang perawatan. Erika selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Ara sepulang kuliah. Terlampau baik memang. 


"Pinjam catatanmu, Er." Ara senantiasa mengerjakan tugas kampusnya dengan perantara Erika. Namun, bukan berarti ia memanfaatkan Erika. Ia hanya tak ingin kuliahnya menjadi terbengkalai. Beasiswa-lah yang mengawasinya. 


"Iya." Erika mengeluarkan sebuah tablet dari tas selempangnya, kemudian menyerahkan benda canggih itu kepada Ara. 


Ara pun menyamankan posisi duduknya. Lalu, ia mulai menyalin catatan Erika di buku. 


Sembari menulis, Ara berbincang-bincang ringan dengan Erika. 


***


Terhitung sudah hampir dua minggu Ara berada di rumah sakit. Hari ini, Erika datang lebih cepat karena hanya menghadiri satu kelas di kampusnya tadi. 


"Zahra!" panggil Erika girang saat memasuki ruang rawat. Namun selang sedetik, ekspresinya berubah 180°. 

 

"Ka-kau kenapa?" tanya Erika cemas—melihat Ara tengah meraba permukaan nakas sambil masih berbaring. Netranya memandang langit-langit ruangan. Ia juga terlihat bekerja keras untuk menggapai barang yang diincarnya. 


"I-ini." Erika mengeluarkan pil dari botolnya yang terletak di atas nampan rumah sakit secara gesit serta segelas air yang tersedia di sana. Ia ingin membantu Ara meminum obat itu, tetapi Ara malah menjatuhkannya. Kini, gelas beling tersebut pecah dan airnya berpencaran ke mana-mana. 


Erika tak geram. Ia menyiapkan air putih kembali, lalu berniat memasukkan pil dan air itu ke dalam mulut Ara secepat kilat. Namun, Ara mencegah niat Erika. Ia lebih dulu menahan tangan yang terulur tersebut. Tatapannya nanar. Raut wajahnya melas. Bibirnya mengeluarkan rintihan kecil. Dan tangan kirinya terus menerus memegang dada. 


"Ra...Minum," mohon Erika. Ia tak sanggup—temannya sedang merasakan sakit yang amat dalam, tetapi dirinya hanya diam tak melakukan apa-apa. 




Ara berjalan tergopoh-gopoh ke toilet. Dadanya terasa sesak. Ia berdiri menghadap cermin wastafel. Batuk menyiksa lagi-lagi meneror Ara. Peluh membasahi pelipisnya. 


Kejadian itu terjadi berulang kali, dalam belakangan ini. Tapi Richard maupun perawat Ara—tidak pernah tahu. 




"Takh perlu," kata Ara di sela-sela rintihannya. 


Ara mulai bergerak tak tenang. Seprai bangsal yang ditidurinya telah berantakan. 


*putar lagu sedih apa pun yang kalian suka. 


Erika menekan tombol nurse call bertubi-tubi. Dirinya sudah panik. Air matanya mengalir deras. Ia juga berusaha menenangkan Ara. Memeluk tubuh Ara dengan hati-hati. "Aku tahu itu sakit. Tapi bertahanlah sebentar." 


Erika merasakan dada Ara bergerak ke atas dan ke bawah dalam tempo yang cepat. 


Kemudians secara mendadak, Erika merasa tubuh Ara sudah sedikit tenang. Apa ia berhasil? Erika pun melepaskan rengkuhannya. Sekarang, ia bisa leluasa melihat kondisi Ara. 


"Zahra?" Ara bergeming. Tubuhnya tak memberi reaksi apa pun. 


Seorang pria—nampak memasuki ruang rawat, dan berjalan menuju bangsal. Pria tersebut tentu bernama Richard. 


"Erika. Terima kasih atas segalanya." Ara mengukir senyuman berbeda. Senyuman yang mengingatkan Erika akan pertemuannya dengan Ara dua tahun lalu. 




"Hai," sapa Ara kepada kelompok Erika seraya melambaikan tangan, juga menunjukkan senyum unik yang baru pertama kali Erika temui. "Aku boleh gabung dengan kalian, tidak? Kulihat, hanya kelompok kalian yang kekurangan orang, dan aku belum mendapatkan satu teman kelompok pun." 


Erika memerhatikan teman sekelompoknya lalu berujar, "Ya sudah, gabung saja dengan kami." Teman-temannya mengangguk serempak. "Oh, ya. Namamu siapa?" tanya Erika. 


"Zahra Priscilla. Terima kasih, ya, omong-omong." Ara tersenyum ceria. "And...berbicara informal saja jika denganku," tambahnya. 





"Ra! Zahra!!!" jerit Erika sembari menangis.  


"Ra, jangan bercanda! Aku tidak akan semudah itu tertipu olehmu!"


Ara tetap tak berkutik. 


"Zahra!" Erika mengguncang tubuh Ara kencang. Tapi Ara malah meresponnya bagaikan daun yang tertiup angin. 


Erika mendekatkan telinganya pada dada Ara perlahan. Jantungnya tak berdetak. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. 


"Tolong menyingkir," pinta Richard. 


Richard memeriksa tubuh Ara melalui beragam alat medis. Ternyata satu-satunya paru Ara tidak berkerja normal. Ia terkejut. Karena Ara tidak ada mengeluh kepadanya sama sekali. 


Richard segera mengecek denyut maupun detak jantung Ara, serta mendekatkan jari telunjuknya ke hidung gadis tersebut.


Nihil. Napasnya berhenti. Detak jantungnya tak berbunyi. Dan denyut nadinya sudah putus. 


Richard menoleh ke arah Erika. "Maaf sekali." Richard menjeda ucapannya. "Pasien sudah istirahat dengan tenang di sana." 


Erika menganga tak percaya. Padahal sejujurnya, ia telah mendapatkan kebenaran dari hasil pemeriksaannya sendiri. Namun ia kukuh dengan anggapannya. 


"Kenapa kalian sangat kompak dalam memainkanku?! Aku takkan dapat dibodohi oleh permainan murahan ini," tandas Erika. Ia lantas berucap lirih, "Ra, bangun...."


"Pasien sudah meninggal. Mohon terima kenyataan itu." Richard menegaskan. Ia pun keluar dari ruang rawat—untuk mengurus keperluan Ara. 


Kini, hanya Erika dan Ara yang berada di ruangan. Erika menipiskan jarak antara dirinya dengan Ara, lalu mendekap tubuh Ara sepenuh hati sambil terisak. 


***


Erika membasuh wajahnya dengan air. Ia sedang di toilet ruang rawat Ara. Richard belum ke sana lagi. 


Erika menatap bayangan wajahnya di cermin wastafel. Matanya bengkak. Wajahnya memerah. Ia baru saja menangis hebat. Sesak masih memenuhi rongga dadanya. 


Erika mengedarkan pandangan ke penjuru toilet, lalu netranya menangkap sebuah tetesan yang bertekstur kental dan berwarna merah di pinggir wastafel. Ia menyentuh objek tersebut, kemudian mencium baunya. 


Bau darah. 


Tubuh Erika lemas. Ia jatuh terduduk di atas lantai. 


Ara idiot! Ara selalu memendam kepahitan hidupnya sendirian. Ara sangat sulit membagikan beban berat di punggungnya kepada orang lain. Tapi kenapa Erika tak menyadarinya sedikit pun? Ia merasa dirinya sungguh gagal menjadi teman. 


***


"Kau Erika, 'kan?" tanya Thea langsung pada inti. Ia memandang sekitarnya bingung. 


"Ya." Erika tersenyum getir. 


"Di mana Ara? Kata kau, kau ingin mempertemukanku dengan dia. Aku sudah lama menunggu." Memang benar adanya. Thea menunggu Ara, bahkan mencarinya di pekan pertama ia kehilangan Ara. 


"Tapi...tak mungkin di daerah sini, bukan?" Thea mengalihkan pandangannya ke Erika  dengan tatapan heran dan penuh selidik. 


"Ikuti aku." 


Thea menurut. Ia berjalan di belakang Erika sambil memandang sekelilingnya kembali. Thea semakin mengernyitkan keningnya—kala Erika memasuki jalan setapak, dan berbelok ke area yang tentu tidak asing bagi kebanyakan orang. 


Pemakaman. 


"Kenapa kita malah ke sini? Kau ingin mengunjungi seseorang dahulu?" Erika tak menjawab. Ia terus menyusuri jalanan di antara makam-makam. 


"Oh, oke-oke." Thea mengerti. Mungkin ia harus menemani Erika sejenak. Tak enak juga bila menolaknya. Erika telah berbaik hati untuk menunjukkan keberadaan Ara nanti. 


Apakah ia kenal dengan seseorang yang akan Erika kunjungi? Jawabannya tentu saja tidak. Tapi pertanyaan itu terus bercokol di pikiran Thea. Saat Thea ingin melemparkan pertanyaan tersebut, dirinya keduluan dengan pergerakan Erika. Erika berhenti tepat di depan sebuah makam, dan berbalik. Kemudian gadis berpakaian hitam tersebut berujar, "Kau kenal." 


Erika bisa membaca pikiran? Woah....


Baru saja Thea berbinar kagum, tetapi pernyataan Erika yang berikutnya membuat Thea tertohok. 


"Kau sangat kenal," tekan Erika. Ia lalu berjongkok menghadap sebuah makam dan mengusap batu nisannya. "Dia adalah Zahra," sambung Erika. Ada getar di balik suaranya. 


Thea mencerna ucapan Erika. 


Zahra? 


Thea buru-buru menampik segala pikiran buruknya. 


Tidak! Pasti yang dimaksud bukan Ara. Nama Zahra di dunia ini sangat banyak. Ingat itu! batin Thea berteriak. Tetapi mulutnya tetap mengeluarkan satu pertanyaan tanpa ia sadari. "Zahra siapa?" Pandangan Thea kosong. Air mata telah menggenangi pelupuk matanya. 


"Lihatlah sendiri," suruh Erika lemah. 


Thea tak berani. Ia pun sengaja mencemooh diri sendiri untuk mendorong keberaniannya. 


Setelah memantapkan hati dan menanamkan pikiran positif di kepalanya, Thea melangkah ke sebelah kanan Erika—untuk melihat batu nisan itu secara jelas. 


Zahra Priscilla

15-11-00


Tubuh Thea merosot. Dirinya seakan hampa. Ia memeluk batu nisan yang tertulis nama lengkap Ara tersebut sambil menangis tertahan. 


"Oh, ya. Ini jaketmu." Erika menyerahkan sebuah jaket yang tadi ia taruh di atas keramik makam. 


Beberapa waktu lalu, Ara meminta Erika untuk mengembalikan jaket Thea. Erika tak punya waktu saat itu. Ia sibuk kuliah dan merawat Ara. Jadi Erika baru memberinya sekarang. 


Di sisi lain, Thea tengah termenung. Ia pasti ingat dengan jaket yang menciptakan sebuah kenangan tersebut. Tangis pilunya pun berhasil tumpah. 


Thea punya perasaan kepada Ara. Perasaan lebih dari seorang kawan. Namun Ara malah meninggalkannya sesadis dan secepat ini. Bahkan saat ia belum mengungkapkan rasa cintanya terhadap gadis itu. 


[]


maaf bgt kalo ga ngefeel😓


warning⚠️ 
semua yang ada di dalam cerita fiktif! tidak berkaitan dengan kehidupan nyata. baik itu nama, tempat, dsb

Comments