Suasana SMA Bintang Pelita pagi ini sangat sunyi. Bel masuk telah berbunyi. Para murid sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Tak terkecuali dengan kelas 10 IPA 1. Siswa-siswinya telah duduk tenang—menunggu pelajaran pertama berlangsung. Tetapi ada yang aneh. Sebuah bangku di barisan paling depan hanya diisi oleh tas berwarna soft blue. Padahal 15 menit lagi, guru Kimia pasti datang.
"Ada yang tahu Anita Ciara di mana?" tanya Naya selaku wali kelas 10 IPA 1.
"Ara 'kan anak Pak Hendri. Tanyakan langsung saja padanya," ujar seorang siswi dengan tampang tak suka.
Tak ingin memperpanjang masalah, Naya lantas mengangguk, lalu pergi menemui Kepala Sekolah—Hendri—ayah dari Anita Ciara. Tapi hal tersebut ia urungkan saat melihat sosok yang dicari tengah memasuki kelas dengan kepala tertunduk.
"Permisi."
"Ara? Kenapa terlambat masuk kelas?" tanya Naya to the point. Kemudian netranya bergulir ke sesuatu yang dibawa Ara. "Itu apa?"
Ara yang merasa namanya dipanggil pun langsung mengangkat kepalanya dan menunjukkan senyum kecut.
"Maaf telah terlambat, Bu," jawabnya sungkan. "Ini bukan apa-apa, Bu. Sekali lagi saya minta maaf," lanjutnya seraya memindahkan tangannya yang membawa buntalan kain ke belakang tubuh secara perlahan.
Naya memandang Ara lamat-lamat.
"Silakan duduk," titahnya singkat.
"Terima kasih, Bu," ucap Ara pelan. Segera Ara duduk di bangkunya, lalu memasukkan buntalan kain yang sempat disembunyikannya ke dalam tas.
Usai melihat pergerakan Ara, Naya langsung keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***
Ara hendak mengambil sesuatu di loker kelasnya. Saat baru membuka loker, lagi-lagi ia menemukan selembar kertas misterius di atas buku bahasa Mandarinnya. Kertas itu berisi kalimat "ready?" dengan goresan tinta merah. Awalnya Ara tak mempedulikan kertas tersebut. Toh, bisa saja ada yang salah taruh atau mungkin ulah teman kelasnya yang iseng. Namun, ia berubah pikiran. Kertas itu selalu bermunculan setiap hari—di lokernya—dengan isi yang sama. Apa tidak terlalu mencurigakan?
Ara segera menyimpan kertas tersebut di saku seragamnya. Ia memang mengumpulkan semua lembaran kertas itu di laci meja belajarnya. Berharap tahu siapa pengirim kertas tersebut dan apa maksudnya.
"Kau kenapa, Ra?" tanya seorang gadis bersurai sebahu.
"Ah, tak apa," balasnya sedikit terlonjak kaget.
"Yakin? Wajahmu pucat sekali, lho," ucap gadis dengan jepitan yang selalu ada di rambutnya itu dengan gurat khawatir.
"Iya. Aku tidak apa-apa, Andini," ujar Ara gemas, disusul dengan senyuman tulus.
Berikutnya, ia mengambil sebuah paper bag yang sempat ditundanya tadi. Melangkahkan kaki menuju bangkunya—yang lantas saja membuat Andini menghampiri.
"Hei. Kau dibully mereka lagi?" tanya Andini saat melihat Ara mengeluarkan buntalan—yang ternyata adalah seragam gadis tersebut—dari dalam tas, lalu memasukkannya ke paper bag.
Ara hanya mengulas senyum simpul.
"Ara~tolonglah…," ucap Andini dengan nada memohon.
Mengabaikan permohonan Andini, Ara justru bertanya, "Kau tahu tidak, bagaimana caranya aku kembali dengan seragam kering?"
"Tidak." Sebelumnya ia memang pernah menemukan Ara dengan seragam yang sudah sangat kotor di belakang sekolah. Ara terduduk dengan tubuh yang meniban kakinya. Andini yang melihat keadaan Ara tersebut langsung melangkah lebar menuju ruang guru. Meminta 1 stel seragam, kemudian mengantar Ara ke toilet.
Itulah yang menjadikan pertemanannya dengan Ara sampai kini.
"Biar kuberitahu." Ara mendekatkan wajahnya pada telinga Andini. "Aku selalu men-double seragamku," bisiknya lalu tersenyum tipis, dan menjauhkan wajahnya kembali.
"Bagaimana bisa? Bukankah semuanya akan basah bila terkena cairan?" tanya Andini heran.
"Itu rahasiaku," ucap Ara bangga. Lantas Andini mengerucutkan bibirnya sebal.
"Kalau tahu akhirnya begini, tidak perlu cerita!" gerutunya yang membuat gelak tawa Ara keluar.
Ara terus menggoda Andini dan mereka pun bercengkrama ringan dalam keheningan kelas.
***
"Baik. Sekarang Bapak akan memberikan hasil ulangan kalian pekan lalu," ucap Sugiyanto, guru Matematika kelas 10 IPA 1.
Mendengar kalimat tersebut, para murid langsung heboh. Ada yang berteriak takut remedial, dan beragam reaksi lainnya yang tak kalah berisik.
Sugiyanto cepat-cepat melemparkan tatapan mautnya yang membuat seisi kelas kembali hening.
"Silakan maju saat namanya Bapak panggil."
Sugiyanto pun menyebutkan satu persatu nama murid 10 IPA 1 hingga seluruhnya mendapatkan kertas ulangannya lagi tak tersisa.
Saat kelas kembali bising, Sugiyamto berkata dengan suara lantang. "Anita Ciara. Kamu satu-satunya yang mendapat nilai 100. Pertahankan, Nak."
Siswa-siswi yang ada di kelas tersebut langsung menjatuhkan perhatiannya pada Ara. Ulangan Matematika kali ini sulit. Yang di atas KKM pun hanya segelintir murid. Lalu, Ara…?
***
Lorong sekolah telah sepi. Para murid tentu saja telah pulang, kecuali anak ekstrakulikuler dan yang berkepentingan. Namun Ara masih berada di sekolah, padahal ia tak ada jadwal ekskul hari ini. Ia sudah memberi pesan kepada ayahnya agar pulang lebih dulu. Dan sekarang di sinilah Ara, di sebuah perpustakaan bersama Lia, teman sekelasnya. Lia meminta Ara untuk mengajarkan pelajaran yang belum dimengertinya. Ara pun menyanggupinya.
"Ma-maaf, Ara. Aku mendadak ingin ke kamar kecil. Tunggu sebentar, ya?" tanyanya ragu. Ara tak ambil pusing, ia hanya mengangguk pelan sembari terus membaca buku.
Lia pun keluar dari perpustakaan meninggalkan Ara sendirian. Penjaga perpustakaan telah pulang. Ia mengizinkan Ara masuk ke dalam perpustakaan karena kedudukannya sebagai anak Kepala Sekolah.
Sudah setengah jam yang lalu Lia keluar dari perpustakaan dan sampai saat ini pula ia belum kembali. Ara menyudahi kegiatannya, lalu berjalan ke arah pintu perpustakaan.
Ara mengernyitkan dahinya. Pintu perpustakaan terkunci! Ia mulai panik dan menggedor-gedor pintu sialan tersebut.
"Tolong! A-apakah di luar ada orang? T-tolong…." Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, seluruh lampu di perpustakaan mati secara serempak. Tak ada pencahayaan sama sekali jika lampu-lampu tersebut padam.
"Tolong! Tolong aku! Aku terkunci!" teriaknya sembari menangis meraung-raung. Ia takut gelap.
Memutar otak untuk mencari jalan keluar pun rasanya susah. Ketakutan sudah menggerogoti jiwanya.
***
Andini menaiki angkutan umum lagi saat perasaannya tidak enak. Ia cemas, tapi entah karena apa. Yang terpenting sekarang, ia harus kembali ke sekolah.
Saat kendaraan yang ditumpanginya sampai di halaman sekolah, ia segera berlari secepat mungkin. Meminta satpam untuk membuka gerbang sekolah dengan memaksa dan tergesa-gesa.
Kini, ia terus mengayunkan kakinya mengikuti ke mana anggota badan itu pergi.
Andini tak henti-hentinya mendial nomor Ara. Ya, ia takut terjadi apa-apa dengan gadis itu. Nomornya yang tidak aktif menambah kecemasannya. Tepat saat ingin mendial nomor itu lagi, Ara sudah lebih dulu menghubunginya.
"Andini, tolong ke perpustakaan," lirih Ara dari seberang. Tanpa banyak tanya, Andini langsung memutuskan sambungan telepon tersebut dan melesat pergi ke perpustakaan. Pintu perpustakaan terkunci. Ia menggedor pintu itu keras.
"Aku di dalam!" ucap Ara setengah berteriak. "Tolong kau cari tombol merah yang ada di sekitar pintu! Ukurannya kecil sekali."
Andini langsung mencari objek tersebut, dan ternyata tombol merah itu berada di pojok bawah samping kanan pintu.
"Sudah ketemu!"
"Oke. Sekarang tinggal kau tekan tombol tersebut," jelas Ara memberi instruksi. Andini menurut. Setelah itu Ara membuka pintu perpustakaan perlahan dan memeluk tubuh Andini dengan erat.
"Makasih," ucapnya teredam seragam Andini.
"Iya, sama-sama, Ra." Andini mengelus-elus punggung Ara lembut. Ia membiarkan Ara menangis. Lalu Ara melepas pelukan tersebut — menampakkan wajah berantakannya.
"Sudah, ya, menangisnya. Aku ada di sini bersamamu." Andini menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya, kemudian mengeluarkan lelucon recehnya.
"Lihatlah seragamku! Penuh dengan ingus hijaumu, tahu! Ewh...menggelikan."
"Enak saja! Sejak kapan ingusku berwarna hijau?!" tanya Ara geram.
Andini terkekeh melihat ekspresi lawan bicaranya. "Oh. Oh. Coba perhatikan itu! Matamu seperti akan jatuh lalu menggelinding," ledeknya. "Jangan biasakan melotot," ucapnya menahan tawa.
"Terserah kau, Din," ucap Ara cuek.
"Aku bercanda." Andini menunjukkan peacenya. "Omong-omong, kau tahu ada tombol ajaib tersebut dari mana?" tanyanya sembari melihat tombol merah itu dengan pandangan takjub.
"Hanya asal bicara."
Andini menautkan alisnya.
"Kenapa menatapku begitu? Ayo, pulang!" ajaknya mengalihkan pembicaraan. Tidak sepenuhnya, sih. Ia benar-benar ingin pulang. Tubuhnya lelah karena hal tadi. Soal tombol itu, tentu saja ia tahu. Saat hendak sekolah di sini, ia diperkenalkan fasilitas-fasilitas—termasuk tombol merah untuk seluruh ruangan di sekolah ini—oleh ayahnya.
Andini menemani Ara mengambil barang-barangnya terlebih dahulu, lalu keluar dari gedung sekolah.
"Aku baru ingat kalau masih ada satpam," kata Ara sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sudah, terobos saja." Andini memengaruhi. Mereka memang tengah berada 2 meter dari gerbang sekolah dan penjaganya.
Ara menaikkan sebelah alisnya.
"Ck. Ikuti aku!" Kedua gadis itu berjalan berurutan dengan mengendap-endap. Andini sebagai pemimpinnya. Kebetulan satpam sedang bersantai di posnya. Peluang mereka untuk kabur dari sana pun lebih besar. Tapi saat satu kaki Andini baru saja keluar dari area sekolah, satpam yang sebelumnya sedang bermain ponsel itu tiba-tiba menoleh. Matanya tertuju pada kedua gadis yang tertangkap basah.
"Ara? Lalu kau yang tadi masuk, 'kan? Matahari hampir tenggelam, apa yang kalian lakukan di dalam? Oh! Kenapa Bapak bisa lupa tentang perihal tadi," ucapnya terlihat frustasi.
Ara dan Andini hanya saling pandang. Sedetik kemudian, Ara menjawab kalem. "Tadi ada sedikit masalah, Pak."
"Masalah? Kau baik-baik saja? Ayahmu menanyakan kabarmu terus melalui aku. Katanya nomormu tidak aktif," ucapnya yang lebih mirip bertanya.
"Aku tak apa, Pak. Tadi handphoneku sempat aku mode pesawat. Maaf merepotkan Bapak," ucapnya tidak enak.
"Oh, ya sudah. Hati-hati pulangnya ya, Nak," ucapnya menatap Ara lalu beralih ke Andini.
"Siap, Pak, "teriak Andini seraya meletakkan telapak tangan di dahi hormat. Akhirnya ia punya kesempatan bicara setelah menyimak dengan penuh kejenuhan.
Ara pun melemparkan senyum manisnya pada satpam, lalu bergegas pulang.
Huft, sia-sia aksi memalukannya tadi.
***
Tiga orang siswi tengah duduk berjejeran di hadapan Kepala Sekolah. Ya, urusannya bukan lagi dengan guru konseling, tetapi dengan Kepala Sekolah SMA Bintang Pelita. Salah satu siswi tampak bingung. Ia memberi tanda tanya besar lewat tatapannya.
"Kenapa Bapak memanggil kami bertiga?" tanya siswi yang sejak tadi kebingungan, Anita Ciara.
"Tolong jelaskan, Lia," balas Kepsek tersebut. Ia terus tersenyum sembari menunggu Lia bicara. Tapi seakan-akan siswi itu bisu, ia menutup bibirnya rapat dan menatap sepatunya.
Sepertinya Ara tahu alasan dirinya dipanggil. Namun, bagaimana bisa melihat hal tersebut? Sementara gadis itu selalu menutup mulut—tidak pernah menceritakan satu masalah pun yang dihadapinya. Ia lantas menoleh pada satu siswi lagi yang menjadi satu-satunya tersangka.
Mengetahui arti tatapan Ara, Andini pun menegakkan tubuhnya, lalu mulai angkat suara dengan terbata.
"Jadi sepulang sekolah, kau diajak bicara oleh satpam terlebih dahulu? Pantas saja lama," cibir Ara setelah Andini bercerita.
Andini hanya menunjukkan cengiran khasnya yang membuat Ara berdecak kesal.
"Sudah tahu alasannya, 'kan? Bapak penasaran, kenapa kau melakukan itu, Lia?" tanya Hendri dengan suara rendah.
"A-aku hanya, hanya…." Bola mata Lia terus bergerak—seperti memikirkan kata-kata yang akan dilontarkan.
"Jangan seperti orang gagap, Li. Beritahu saja yang sebenarnya," ucap Ara dingin. Ia sejujurnya tahu, pasti bukan Lia pelakunya. Lia hanya seorang siswi lugu yang tak mungkin berbuat hal keji. Kecuali disuruh.
Lia menggigit bibirnya ragu, lalu kembali menunduk. "Aku hanya menjalankan tugas." Boom! Benar 'kan apa yang Ara pikirkan. Feelingnya memang benar-benar kuat.
Andini sontak menoleh ke arah Lia. "Dari siapa?" tanyanya penasaran.
"Aurel," cicitnya pelan namun masih bisa didengar oleh Ara yang memang berada di sebelah kanannya.
"Apa? Coba keraskan suaramu, Lia," pinta Andini.
"Aku disuruh Aurel." Kali ini kepalanya terangkat dan suaranya terdengar jelas.
***
Di dalam ruang kepsek, kini terdapat tiga orang yang tengah bersitatap dengan suasana tegang.
"Ada keperluan apa ya, Pak?" tanya Aurel yang ingin mencairkan suasana.
"Dari pada saya menuduh yang tidak-tidak, lebih baik kau saja yang menjelaskan semuanya," ucap Hendri tenang.
"Menjelaskan apa? Saya memang melakukan kesalahan, Pak?" tanya Aurel yang sepertinya tersinggung.
"Tanya pada dirimu sendiri. Apa kau sama sekali tak merasa bersalah?"
"Tentu saja tidak," balasnya enteng.
"Apa kau tak pernah berpikir dahulu saat akan menjawab pertanyaan?" sindir Ara yang tak tahan dengan tingkah laku Aurel.
"Tau apa kau tentang diriku? Jangan asal bicara!" ucapnya tak suka.
"Aku hanya bertanya. Kau tidak perlu menggunakan nada tinggi," katanya dengan ekspresi datar. "Dan, cobalah periksakan otakmu agar cara berpikirmu lebih baik."
"Aku tak butuh saranmu. Urus saja dirimu yang sangat kotor itu," ucapnya sembari memutar bola mata malas.
Ara hanya menukikkan alisnya, lalu menyandarkan punggungnya di bangku—tak peduli dengan omongan gadis tersebut.
"Kalian berdua diam! Di sini kita ingin menyelesaikan masalah, bukan menambah." Iris Hendri menatap gadis dengan surai bergelombang. "Aku tanya padamu sekali lagi. Apa kau benar-benar tidak melakukan kesalahan? Pada Ara, contohnya."
"Kalian berdua memojokkanku, ya? Sudah kuduga, bapak dan anak sama saja. Sama-sama sampah!" ujar Aurel keterlaluan. Ia lalu beranjak dari bangku—ingin meninggalkan ruang terkutuk (baginya) tersebut. Tapi tangannya dicekal. Membuat ia berdiri mematung sembari menetralkan deru napasnya yang memburu.
"Tunggu. Kita bicarakan baik-baik."
***
Cukup lama menunggu Aurel membuka pembicaraan, akhirnya ia luluh juga. Ia menumpahkan segala emosinya dalam ruangan kedap suara tersebut. Ternyata ia tidak seburuk apa yang Ara pikirkan. Kata hatinya kali ini salah. Aurel hanya iri kepadanya. Ia mengira bahwa hasil yang Ara dapatkan dengan kerja keras hanyalah karena bantuan Hendri yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah SMA tersebut. Aurel merasa Ara sangat licik. Ia pun mulai menyusun rencana agar teman-temannya ikut membenci Ara dengan pikiran gilanya itu. Wajar, bukan? Mengira Ara melakukan kelicikan? Karena Ara merupakan anak kesayangan guru. Bahkan wali kelasnya pun terlihat begitu perhatian dengan Ara. Ditambah lagi Aurel yang selalu kalah dari Ara dalam hal pelajaran. Membuatnya selalu mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari orang tuanya. Ia melampiaskan semuanya pada Ara. Melakukan segala sesuatu yang membuat gadis itu tak nyaman. Aurel sungguh meminta maaf atas itu. Ia baru menyadari kesalahannya.
Ara mendengarkan semua curahan hati Aurel tanpa menyela atau memberinya kalimat negatif.
Kini, mereka berpelukan. Merasakan kehangatan satu sama lain yang belum pernah terasa. Mereka keluar sembari bergandengan tangan dan menunjukkan wajah riangnya kepada sang Kepala Sekolah yang rela menunggu di luar ruangannya saat Ara dan Aurel berbicara. Ia ikut senang melihat tawa bahagia anaknya. Itu artinya, beban gadis tersebut telah berkurang. Kemudian, muncullah Andini yang membuat senyum gadis bernama Anita Ciara itu terukir hingga membentuk bulan sabit di matanya.
***
Sudah menjadi rahasia umum jika jam kosong merupakan waktu yang ditunggu-tunggu para murid selain istirahat dan pulang sekolah. Murid-murid dapat bebas melakukan apa saja; tidur, bermain game, berbincang dengan temannya, bersenda gurau, dan kegiatan lain yang memicu kegaduhan. Tapi hal tersebut agaknya tak berlaku bagi kelima siswi yang sedang asyik belajar di pojok kiri belakang kelas itu. Mereka tetap fokus walau anak-anak lain tengah berkeliaran kesana kemari. Tirai yang tertiup oleh angin, keadaan kelas yang bersahabat—remang, namun masih ada pencahayaan dari sinar matahari yang masuk melalui celah-celah ventilasi. Sungguh menakjubkan, bukan? Terlebih sesosok siswi dengan surai yang tergerai hingga pinggangnya itu. Dikerubungi empat siswi. Mengajarkan mereka dengan telaten. Raut seriusnya. Iris cokelat terangnya yang akan memperhatikan setiap temannya sehabis menjelaskan. Mampu menjadikan dirinya terlihat seperti tokoh utama dalam sebuah cerita. Auranya begitu terpancar. Kecantikan, kepandaian, ketenangan,
juga kebaikan hatinya. []
yeay! akhirnya selesai juga ngerevisi-nya. ini karya pertamaku yg dipublish di blog. semoga suka ya^^
Waah, cerpennya bagus. Penggunaan kata dan penempatan tanda bacanya juga sudah bagus. Hanya ada beberapa kata yang salah penulisan. Tidak apa-apa, semua orang pernah melakukan kesalahan. Perbaiki kesalahan itu dan tingkatkan kemampuanmu, oke? Sejauh ini sudah bagus, kok 😄
ReplyDeleteBahkan lebih bagus dari aku. Beneran deh :)
Maaf kalau koreksinya terdengar seperti kritik, maaf juga kalau menyakiti hati.
Semangat, ya! Ditunggu karya lainnya... Hehe 😁😊
iih😭 salsa!
Deletemakasi kritikan & dukungannya😭huaaa terharu bgt aku bcnya ㅠㅠㅠ
btw jgn ngerendah gt. tulisan km bagus ko. aku mlh yg msh kek apaan tau
oya, soal "karya selanjutnya", aku gatau bknnya kpn. dh lama ga nulis. itu aja hasil tugas basa indo cm rada d perbaiki😭👍
dhla, sekian terima teyung :)
eeeh😂