![]() |
open this pict |
"Zahra!" pekik seseorang dari pintu utama toilet yang terbuka lebar. Erika baru saja membuka pintu tersebut. Dan betapa paniknya dia, ketika melihat Ara tengah bersandar pada dinding di belakangnya dengan kepala mendongak ke atas. Wajahnya pucat. Mulutnya sedikit terbuka—menampilkan darah di bagian dalam maupun sekitarnya. Membuat mulut Ara dipenuhi warna merah. Pil yang digenggamnya juga sudah jatuh entah ke mana.
Erika langsung mendekati Ara dan membantunya keluar dari toilet. Ia lalu menuntun gadis tersebut berjalan ke UKS.
***
"Zahra, apa ada sesuatu yang belum kutahu?" tanya Erika setelah berdiam cukup lama.
Tadi, Ara mengatakan; ia hanya perlu minum obat dan istirahat. Ia juga menyuruh Erika untuk tetap mengikuti pelajaran. Erika tentu tidak mau. Ia ingin merawat kawannya. Namun, Ara bersikeras menyuruh Erika untuk meninggalkannya sendirian di ruang UKS—walau ia juga telah menolak permintaan itu mati-matian. Finally, Ara-lah yang memenangi perdebatan tersebut.
Aish, si keras kepala ini, batin Erika kesal. Erika pun menghadiri kelasnya dengan perasaan tak tenang. Saat Etika sudah tidak ada kelas, ia langsung membawa dirinya ke UKS kampus.
Begitu sampai di sana, Ara malah mengajak Erika ke taman dekat kampus. Jadi, di sinilah mereka berada. Di sebuah kursi taman kayu, yang dikelilingi rerumputan hijau.
"Ada," balas Ara sembari menatap lurus ke arah depan. Sudut matanya terlihat berair. Ia lalu melanjutkan, "Aku menderita kanker paru-paru stadium 2—saat terakhir kali aku memeriksa." Ara menolehkan kepalanya ke kiri. Mengulas senyum getir kala melihat temannya tengah terkejut.
"Ayahku yang mewariskannya. Beliau seorang pencandu rokok. Namun, beliau tak pernah menampakkannya di hadapanku." Ara menjeda omongannya. Ia jadi teringat kilas balik lima tahun lalu. Saat Ara masih berusia 15 tahun. Ia memergoki Ayahnya dari balik pintu. Duduk menyendiri di teras rumah—pada malam hari—sembari menghisap nikotinnya. Beliau menghembuskan napas berat berulangkali. Ketika itulah, Ara baru mengetahui bahwa Ayahnya merokok. Lalu hari-hari berikutnya, ia membututi Ayahnya yang pergi bekerja. Hati Ara teriris, begitu melihat Ayahnya membawa banyak kotak—berisi barang impor. Ia juga menyaksikan Ayahnya yang terus terbatuk tatkala mengangkat kotak-kotak tersebut. Dari hasil pemantauannya, Ara sudah sangat sering mendapati Ayahnya yang merokok.
"Ayahku juga pekerja keras. Beliau membanting tulangnya tiap hari. Lalu, beliau selalu menebarkan tawa hangatnya saat bersamaku, juga Ibuku. Aku sungguh bahagia pada saat-saat seperti itu. Saat kami sekeluarga berkumpul di ruang makan—sembari memakan sup ayam dan saling berbagi cerita." Ara bernostalgia masa-masa indah remajanya. Ayahnya yang gemar melemparkan gurauan, Ibunya yang menyiapkan makanan lezat dengan kepulan asap di udara untuknya dan sang Ayah, serta dirinya yang sibuk berceloteh dan menanggapi perkataan Ayahnya dengan antusias. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Beliau pergi meninggalkan Ara saat hari kelulusan SMP-nya. Ara amat berduka. Apalagi setelah mendengar satu fakta pahit—dari bibir Ibunya—yang membuat Ara seolah hancur berkeping-keping. "Selang beberapa bulan setelah kebahagiaan itu, Ayahku pergi jauh, Er. Ibu juga tak lekas memberitahuku kapan Ayah akan kembali. Dan Ibu memberitahuku bahwa Ayah memang sudah pergi. Selamanya, bukan sementara. Ayah diagnosis kanker paru-paru dan beliau tak dapat melawan penyakitnya lagi. Aku benar-benar hancur, Er. Hari di mana aku dinyatakan lulus sekolah, malah mengundang kekacauan dalam hidupku." Ara memalingkan wajahnya dengan cepat. Ia lalu menunduk seraya menutup wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Ara berada pada titik terendahnya. Ia mengingat setiap kejadian menyakitkan itu. Dada Ara sesak. Seperti ada yang menusuknya tanpa ampun. Diam-diam, ia menekan dadanya dan meremas bajunya sebagai pelampiasan rasa sakit. Namun tiba-tiba, Erika menarik Ara ke dalam pelukan. Ara langsung menumpahkan segala rasa yang mengganjal di hatinya. Ia mencengkram belakang baju Erika kuat.
"Sejak kepergiannya, Ibu jadi ikut sakit. Aku bingung. Tapi yang kuyakini, aku harus merawat Ibu dengan baik. Aku juga melamar kerja ke sana kemari untuk membeli obat Ibu." Ia memberhentikan ucapannya lagi. Mengingat apa yang ia lakukan dahulu. Mencari pekerjaan. Sangat sulit baginya mendapatkan satu pekerjaan saja karena ia masih duduk di bangku SMA. Hingga akhirnya, ia diterima kerja di sebuah minimarket. Minimarket yang menjadi tempat pencahariannya sampai kini. Ara semakin giat belajar saat Ibunya sakit. Ia ingin membanggakan Ibunya kala sudah sehat nanti. Ia ingin menunjukkan penampilan dirinya yang memakai toga wisuda. Masuk perguruan tinggi dengan tidak mengeluarkan uang sepeser pun adalah impian Ara. Dan sekarang ia sudah menggapai impiannya. Ara telah mengayomi pendidikan di Universitas Indonesia. Ia berhasil! Tapi lagi-lagi, Tuhan mengambil apa yang Ara punya.
"Ibu pergi. Ibu meninggalkanku sendirian tiga bulan setelah ayah pergi. Aku tak bisa merawatnya dengan baik. Aku tak bisa mencicipi masukannya lagi. Aku tak pantas ada di dunia ini. Ibu dan Ayahku pergi karenaku. Aku bahkan tak menyadari ada luka di balik tawa Ayah. A-aku terlalu naif." Ara hendak mengeluarkan suara kembali, tapi Erika membawa tubuh Ara ke pelukannya lebih dalam. Ia mengelus punggung yang bergetar tersebut; berusaha menenangkannya. Erika tidak tega melihat temannya terus-menerus menyalahi diri sendiri. Saat pemilik tubuh itu sudah tenang, Erika berbicara dengan hati-hati, "Jangan menyalahi dirimu sendiri. Itu bukan salahmu. Itu skenario Tuhan. Ingat perkataanku, oke?" Ara melepaskan dirinya dari pelukan Erika. Ia menatap wajah teduh temannya itu. Sejujurnya, Ara enggan menceritakan kehidupan tak menariknya pada siapa pun, termasuk kepada orang terdekatnya. Ia ingin menutupi semua itu dengan tingkah 'biasa'nya. Ia tidak ingin merasa sakit karena memulihkan memori yang sudah ia kubur susah payah. Tapi ternyata, Erika mampu merubah pola pikirnya. Ia menyelamatkan Ara dengan sikap manisnya. Memang sakit—tatkala kenangan pahit kembali muncul di kepala. Namun berkat respon Erika yang teramat baik, ada sebuah kelegaan dalam lubuk hati Ara.
"Erika." Ara memanggil gadis di hadapannya.
"Hm?" gumam Erika pelan.
"Terima kasih karena tadi sudah datang tepat waktu," tutur Ara sembari menatap netra Erika dan melengkungkan bibirnya ke atas.
"Sama-sama, Ra." Erika balas tersenyum.
"Oh ya, kenapa kau menyusulku ke toilet?"
"Karena aku khawatir, bodoh. Kau menyuruhku untuk tinggal di kantin, sedangkan kau tengah berjuang mencapai toilet. Mana bisa aku tetap diam," ceracau Erika lalu mendengus kasar. Ara hanya terkekeh melihat reaksi tersebut. Erika. Terkadang ia bisa menjadi dewasa, juga bisa menjadi sangat cerewet.
***
"Ra."
"Eh, iya. Ada...." Ara hendak membalas suara bariton itu, namun ada seseorang yang menyebut namanya juga. Ia menoleh ke arah gadis cantik yang baru saja memasuki minimarket.
"Aku ingin bicara sebentar denganmu."
"Ta-tapi aku sedang...." Ara melirik Thea—lelaki yang tadi memanggilnya. Thea tengah memperhatikan kedua kawanan itu di depan meja kasir.
"Bisakah kau melayani para pembeli dahulu?" Erika yang melihat keraguan pada wajah temannya, langsung menyerbukan satu pertanyaan kepada Thea. Thea hanya mengangguk lambat dan polos.
"Thank you."
Erika menarik tangan Ara menuju kursi dan meja-meja yang tersedia di luar minimarket. Mereka lalu menempati satu set tempat duduk yang ada di sana.
"Zahra? Apa kau tak ingin menjalani operasi? Agar sel-sel kankermu diangkat," ucap Erika memberi penawaran. Ara dan Erika duduk berhadapan dengan posisi 90° membelakangi minimarket.
"Aku tak punya cukup uang untuk operasi, Er." Ara menghentikan omongannya. Ia membasahi bibirnya yang terasa kering—lalu melanjutkan, "Bahkan untuk kemoterapi oral saja, aku harus bekerja lebih keras. Jadi, biarlah seperti ini." Ara menatap wajah Erika dengan raut yang sulit diartikan. "Kau menemaniku selama hidup saja, aku sudah bersyukur," sambungnya, lantas mengukir senyum tulus.
"Tapi kau bisa mencobanya, Ra. Aku akan turut menyumbangkan uangku. Aku ingin kau tetap hidup. Kau pasti punya masa depan yang indah." Erika mengambil dan menggenggam kedua telapak tangan Ara. Ia lalu meletakkan genggaman tangan tersebut di atas pahanya. Sejurus kemudian, ia meyakinkan Ara lewat tatapannya.
"Terima kasih, Er. Tapi aku tak ingin merepotkanmu." Ara tetap teguh pada pendiriannya. Biarlah tubuhnya ini, ia yang menanggung. Ia tak ingin membebani siapa pun.
Erika menatap netra Ara lekat. "Hei. Bisakah kau mengabulkan permintaanku? Untuk yang terakhir kalinya. Aku takkan meminta kau melakukan apa pun lagi. Aku tak ingin melihat dirimu pergi. Kita baru dua tahun berteman, tapi aku sudah menganggapmu sebagai bagian dari hidupku. Sekali ini saja, tolong turuti permintaanku, Ra." Erika tersenyum, melepas tautan telapak tangannya dengan Ara, lalu beranjak dari kursi. "Aku pulang duluan, ya? Tolong pertimbangkan ucapanku. Aku juga akan mencari rumah sakit terbaik untuk pengobatanmu."
Kuharap kau mendengarkanku, Ra, batin Erika, lalu pergi meninggalkan Ara yang duduk termangu.
***
Ara tengah duduk di sisi ranjang sembari memainkan ponselnya. Ia tidak mengangkut barang hari ini, jadi bisa pulang lebih awal. Ara pun mengirimkan pesan singkat setelah berpikir matang-matang.
Zahra: Aku mau menjalani operasi
Di seberang, Erika tampak terkejut sekaligus senang saat membaca rentetan kata pada pesan Ara. Ia mengetik balasannya dengan lihai, lalu menekan tombol send.
Erika: Oke! Aku sudah menemukan rumah sakit yang tepat. Serius!!! Aku hubungi ia dulu, ya, untuk menentukan waktunya
Ara hanya menatap ruang obrolannya dengan Erika. Ia menunggu gadis tersebut mengirimkan pesan lagi. Tak lama, satu balon pesan benar-benar muncul di sana.
Erika: Lusa. Kita akan pergi lusa
***
Erika bergerak risau di luar gedung kampus. Ia telah mengirim email tentang ketidakhadirannya kepada Departemen Manajemen. Namun surat izinnya ditolak, karena ada kegiatan perkuliahan yang harus diikuti—kecuali jika berhalangan. Sayangnya, alasan yang Erika karang tidak begitu bagus.
Dasar, otaknya ini!
Erika jadi mengotak-atik ponselnya, lalu masuk ke dalam kampus.
***
Erika: Maaf, Ra. Aku tidak bisa menemanimu. Aku juga tidak menduga akan seperti ini. Tapi aku janji, selepas kuliah, aku langsung pergi ke sana
Erika: Semoga operasimu lancar dan berhasil!
Ara menghela napas pelan. Gadis bercardigan cokelat itu sedang duduk di kursi lorong rumah sakit. Perasannya campur aduk. Takut, serta gusar. Terlebih, saat seorang pria dengan jas berwarna putih—datang menghampiri Ara. Jantungnya mendadak berdegup kencang. la pun berdiri untuk menyambut pria tersebut.
"Anda yang bernama Zahra?"
***
Acara yang diadakan kampus telah usai. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Erika juga tak tahu, bahwa waktunya banyak dipakai pada kesibukan tadi. Ia langsung bergegas ke rumah sakit menggunakan taksi online.
***
"Saya minta maaf. Pasien tidak bisa diselamatkan. Sel kankernya sudah menyebar ke otak sejak satu tahun terakhir. Pasien bahkan belum menjalankan pengobatan apa pun saat di rumah sakit. Mungkin memang ini jalan hidupnya," ucap dokter yang bertanggung jawab atas operasi Ara. Pandangan Erika seketika berubah. Ia menganga. Netranya jelas menunjukkan sebuah bentuk protes. Erika pun mendekati dokter dengan name tag 'Richard' itu. Tatapannya berangsur menyalang.
"Kau ini dokter atau pelawak, sih?! Jangan bercanda! Rupanya aku salah memilih rumah sakit." Erika berdecih. Lalu membalikkan badannya dengan wajah yang memerah akibat amarah.
"Saya tidak bercanda." Richard berjalan melewati Erika keluar dari ruangan. Erika yang masih belum mengerti, hanya mengekor di belakangnya.
Mereka melangkah di koridor rumah sakit yang lenggang, lalu berbelok ke lorong yang serba putih dan sepi.
Kamar mayat.
Erika membungkam mulut—kala membaca tulisan pada pintu di hadapannya.
Richard pun menarik kenop pintu tersebut. Saat pintu terbuka, Erika melihat—ada beberapa bangsal yang kosong dan satu bangsal yang ditempati tubuh manusia. Namun, tubuh itu tertutupi kain putih.
Richard, juga Erika masuk ke dalam sana. Bau kapur barus langsung menyeruak menusuk hidung mereka.
"Lihatlah." Erika sontak menatap Richard saat mendengar seruan itu. Ia mengerutkan keningnya tanda tidak setuju. Erika tak sanggup, jika seandainya mayat yang terbaring di bangsal tersebut benar-benar Ara.
Sepersekon kemudian, Erika kembali menatap mayat di depannya. Ia menyentuh ujung kain penutup itu setelah mengumpulkan segenap keberanian. Merapalkan doa dalam hati, lantas menyibaknya hingga bahu sang mayat.
Erika menutup mulutnya dengan telapak tangan. Tenggorokannya tercekat. Pasokan oksigen juga mendadak lenyap di dalam ruangan tersebut.
"Za-zahra?" Erika memandang wajah pucat pasi mayat yang amat tenang itu. Netranya memanas. Erika segera menoleh ke arah Richard.
Satu bulir air jatuh dari pelupuk matanya.
"Kenapa kau tak memberitahuku dahulu?! Kenapa kau tak memberitahuku saat Ara sedang sekarat?! Kenapa aku baru tahu saat ia sudah menutup mata?! Setidaknya, aku ingin melihat senyum perpisahannya!" Erika meluapkan emosinya. Ia pun mendekap tubuh Ara. Tak peduli jika tubuh tersebut sudah menjadi mayat.
Dingin.
Erika semakin mengeratkan dekapannya. Tangisnya pecah, dan memenuhi seisi kamar mayat.
***
"Hei, bangun," panggil seorang gadis sambil menepuk-nepuk pipi Erika pelan.
Erika melenguh kecil dan membuka matanya perlahan. Netranya sembap. Pipinya juga basah. Padahal dirinya baru saja terbangun. Erika lalu menegakkan tubuhnya dan menatap ke depan dengan pandangan kosong.
"Kau kenapa menangis dalam tidurmu? Ini, minum...." Erika mengabaikan perkataan gadis tersebut dan segelas air yang disodorkannya. Ia malah beranjak dari kursi dan berlari cepat dengan air mata yang berderai.
"Erika! Acaranya belum selesai! Kau bahkan meloncati satu acara. Hei!" teriak gadis yang ditinggal oleh Erika. Ia tak habis pikir. Erika yang juga sebagai panitia di acara ini, justru tertidur dan kabur seenaknya.
Erika berlari sembari memesan taksi. Ia tentu tidak bodoh. Jika hanya berlari, itu sama saja akan membuang-buang waktu.
Taksi pun datang.
Erika langsung menumpanginya.
***
Erika sedang mencari ruang pemulihan—sehabis bertanya keberadaan Ara—pada resepsionis rumah sakit. Ia mengetuk pintu bercat putih tersebut secara brutal. Para medis langsung menyergapnya.
"Anda ingin melakukan apa?" tanya salah satu medis yang menahan pergerakan Erika.
"Zahra...." Erika terus memberontak dan berusaha mendorong pintu itu.
"Hei, tenanglah."
"Anda kenapa?" Seorang pria yang terlihat seperti dokter, tiba-tiba berdiri di dekat para medis, namun pandangannya mengarah ke Erika. Erika refleks melihat name tag dokter tersebut. Dan ternyata, namanya sama dengan nama dokter yang ada di mimpinya.
Richard.
Erika langsung menengadah—menatap Richard. "Aku ingin bertemu dengan Zahra!"
"Pasien belum sadarkan diri," ujar Richard tanpa intonasi dan ekspresi.
"Biarkan aku masuk!" tegas Erika. Netranya kian menajam. Giginya bergemeletuk kecil.
Richard tak mengeluarkan suaranya selama empat detik.
"Jangan mengusik pasien."
***
Dalam sebuah ruangan, berbagai peralatan medis tersusun rapi dan berjalan sebagaimana mestinya. Terdapat pula satu bangsal yang diisi oleh seorang gadis berparas cantik. Ia tengah terlelap. Wajahnya damai. Hembusan napasnya teratur. Sementara di kursi sebelah bangsal, ada gadis lain yang agaknya sedang menantikan kesadaran dari gadis yang terlelap itu.
Erika, gadis yang menunggu. Dan Ara, gadis yang tertidur pulas.
"Zahra?" Erika spontan berdiri saat merasakan adanya tanda-tanda kehidupan dalam diri Ara. Ia pun menekan tombol nurse call yang terletak di dinding ruangan.
Richard datang—dengan perawat di belakangnya.
"Itu efek dari anestesi. Wajar jika cepat mengantuk," jelas Richard kala Ara mengatupkan netranya kembali setelah terjaga sebentar.
"Sebaiknya, tinggalkan pasien sendiri. Ada kami yang akan menjaganya," ujar Richard.
Erika menggeleng panik. "Tidak! Aku ingin merawat Ara juga. Aku tidak akan berisik. Aku hanya ingin mendampinginya!"
"Ya sudah," putus Richard tak ingin memperumit keadaan. "Kami keluar dulu." Richard bersama perawat pun melenggang pergi dari ruang pemulihan.
***
Erika merawat Ara semenjak Ara di ruang pemulihan, lalu dipindahkan ke ruang rawat, hingga melakukan perawatan mandiri di rumahnya. Erika dibantu oleh Thea. Thea mengetahui apa yang tengah terjadi pada Ara dari atasannya yaitu Pak Indra. Ara memang memberitahukan perihal operasinya kepada Pak Indra. Bahkan yang membujuk Ara untuk menuruti keinginan Erika adalah Pak Indra sendiri.
Bagi Ara, Pak Indra ialah ayah keduanya. Ia bisa bebas menyampaikan segala yang dirasakan dan dipikirkannya. Barangkali, itu karena Ara sudah bekerja lama dengan Pak Indra.
.***
"Aku bekerja sebagai pengangkut barang," ungkap Ara jujur.
"Pengangkut barang yang bagaimana?" tanya Thea. Mereka sedang berkumpul di ruang rawat Ara—dengan Ara yang terbaring di atas bangsal.
"Yang menggunakan kontainer." Ara menjawab dengan nada jenaka.
"Kau bisa mengendarainya?" Ini Erika. Wajahnya terlihat syok.
"Tentu."
"Jadi itu yang membuatmu kelelahan?" tanya Erika kemudian.
"Mungkin," balas Ara sambil mengendikkan bahu dan setelahnya tersenyum.
***
Thea sedang menemani Ara kontrol di rumah sakit. Ara dan Thea duduk bersebelahan menghadap Richard.
"Tidak ada sel kanker yang terdeteksi hingga saat ini. Anda juga memiliki sistem imun yang kuat. Asal menerapkan pola hidup yang sehat, Anda akan benar-benar pulih dari kanker," jelas Richard setelah melakukan beragam pemeriksaan terhadap Ara.
"Terima kasih." Ara berdiri. Thea pun mengikutinya.
***
"Thanks, Thea, telah membawaku ke sini." Ara tersenyum merekah—kala memandangi air sungai yang bergerak tenang. Ia tengah berdiri di balik pagar jembatan yang tak banyak orang berlalu lalang. Bersama Thea, pastinya.
"Aku memang sedang merindukan udara malam." Ara menghirup udara di sekelilingnya dalam-dalam.
"Ara, kita sudah berteman lama, bukan?" Tiba-tiba, Thea mengajukan sebuah pertanyaan setelah keheningan melanda sejenak.
"Iya."
"Berapa tahun?"
"Sekitar...tiga tahun," jawab Ara sambil berpikir.
"Hei. Kalau bicara itu menatap lawan bicaranya!" Thea menegur.
"Tidak mau. Pemandangan di depan sana lebih indah dari dirimu," kata Ara ringan. Ia lalu menyunggingkan sudut bibirnya.
Thea memegang pundak Ara, dan membalikkan tubuhnya secepat kilat. Kemudian ia mengecup kening Ara cukup lama.
Thea memberi sedikit jarak—dengan masih meletakkan kedua telapak tangannya pada sisi kepala Ara.
"Aku mencintaimu."
Ꭲᕼᗴ ᗴᑎᗞ
open ending yaaa
😂
silakan milih sendiri, Ara juga suka sm Thea atau ngga :))
mohon koreksinya kalo ada yg slh🙏
soalnya sy cuma baca" artikel dari internet😭
sy jg agak susah gunain kata"nya. jadi maaf kalo ga enak dibaca😔
warning⚠️
semua yang ada di dalam cerita fiktif! tidak berkaitan dengan kehidupan nyata. baik itu nama, kampus, dsb.
Huaaaaaa!! Akhirnya up! Makasih :D
ReplyDeleteIni part terakhir? Happy ending? Yeay!! 😆
Hmm, Ara suka aja sama Thea. Daripada kasian nanti si Thea nya :v
Enak kok, kata"nya baguuss ❤. Gapapa, pelajarin aja pelan-pelan, jangan terlalu buru". Aku juga masih harus banyak belajar, yuk kita sama-sama belajar dan berusaha yang terbaik! 💪😉
Yah ini udah END ya? Huhuu T^T
Ada niatan buat bikin cerita lagi kah? Aku tunggu ya karya selanjutnya!
Fighting!! 😄❤
samasama :)
Deleteaku jg makasi bgt sm km🥺💜
wkwkw, ya udh :v
iyaa udh end🤣 maap kalo endingnya aneh or gj 😅🙏
ok. km jg semangat💪